Minggu, 05 Desember 2010

Bongkeng : kegagalan domestikasi

Pagi ini saya berangkat ke kampus agak santai karena kuliah baru mulai jam 11 pagi. Menikmati panorama kota makmur – solo, hm… indahnya pagi ini. Di tengah perjalanan, pandangan saya tertuju pada sebuah taman kota dimana ada banyak orang menikmati pagi di taman itu, tetapi yang menjadi fokus saya adalah seorang balita yang sedang asyik bermain dengan anjing piaraannya. Mungkin bila dibandingkan, besar tubuh anjing itu kira-kira 4-5 kali lipat tubuh si anak. Pikiran saya mulai melayang dan membayangkan, apa jadinya kalau terjadi di kehidupan liar?

di kehidupan liar, instinglah yang berperan penting dan akan terjadi peristiwa rantai makanan dimana produsen (tumbuhan) akan dimakan konsumen 1 (herbifora), konsumen 1 akan di makan konsemen 2 (karnifora), dan seterusnya. Pada kasus ini, balita masuk dalam konsumen 1 dan anjing termasuk dalam kategori karnifora atau konsumen 2. Jadi, apabila di kehidupan liar,  mungkin si anak kecil tadi sudah menjadi santapan pagi bagi si anjing.

Domestikasi
Tetapi, mengapa pada kasus diatas tidak terjadi demikian? Karena tanpa sadar manusia melakukan proses seleksi alam. Dulu anjing mulai dipelihara manusia dengan tujuan untuk membantu manusia berburu, lama-kelamaan, manusia mulai suka dengan sikap anjing yang patuh. Bermula dari sinilah manusia mulai memberi perlakuan pada anjing sejak lahir untuk dirubah dari anjing yang memiliki sifat karnifora menjadi  anjing yang patuh sehingga dapat hidup berdampingan dengan manusia. Dalam biologi proses tersebut adalah bagian dari seleksi alam yang disebut “Domestikasi” atau dengan kata lain manusia telah menjinakkan anjing.
 
Bongkeng
Tapi masih saja ada hal yang mengganjal dalam pikiran saya. ada satu hal yang tidak sinkron dengan teori domestikasi. Jadi begini, dulu saya pernah punya anjing namanya “bongkeng”. Nama yang aneh, saya sendiri tidak tahu asal dan arti nama itu, saya tanya paman saya, “knapa dikasih nama bongkeng?”, jawabannya, “karena dia berwarna hitam gelap dari ujung kepala sampai ujung ekor”, jawaban yang aneh, apa hubungannya warna hitam dengan bongkeng? meskipun keluarga sepakat menamainya bongkeng, tetapi entah mengapa alm.kakek saya tetap saja memanggil dengan nama chiko.


Tidak seperti anjing pada umumnya, bongkeng memiliki sifat yang aneh. Contohnya saat saya membeli sesuatu di warung dekat rumah, tanpa saya sadari, bongkeng mengikuti saya dari belakang. Oke, no problemo. Tapi beberapa saat kemudian terdengar suara aneh dari balik semak. Penasaran, saya langsung mencari tahu. Ternyata bongkeng sedang bermain dengan ayam. Anehnya posisi ayam itu ada di dalam mulut bongkeng, alias bongkeng memakan ayam itu hidup-hidup. Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali, bahkan bongkeng sering membawa bangkai bebek pulang ke rumah.
 
Mengapa sifat alami anjing ini masih saja muncul, padahal sudah mengalami domestikasi?
 
Suatu Kegagalan
Jangan-jangan karena saya sering melepasnya di waktu malam hari, hingga bongkeng menjadi salah pergaulan yang mengakibatkan sifatnya menjadi brutal. Saya tidak tahu pasti jawabannya. Tapi yang jelas proses “domestikasi” tidak terjadi pada bongkeng. Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah “Bongkeng merupakan suatu kegagalan teori Domestikasi”.
 
Bagaimana nasib bongkeng?
Saya memelihara bongkeng kira-kira 4 tahun, saat saya masih SMA kelas 1 sampai saya kuliah semester 2, setelah 4 tahun berlalu bongkeng menjadi sakit-sakitan, mungkin karena masa mudanya digunakan untuk foya-foya saja. Akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk menjadikannya makan malam saja. Berakhirlah cerita si bongkeng di dunia. Tamat.
 
Hm… saya kembali melanjutkan perjalanan saya ke kampus tercinta dengan satu pertanyaan yang masih mengganjal dan menjadi misteri tersendiri. Ya sudahlah, biarkan semua ini menjadi misteri.
 
Lupakan hal ini dan semangat kuliah!
 
SEMANGAT SEMANGAT SEMANGAT!!!

NB : semua yang anda dengar belum tentu benar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar